Rabu, 08 Juni 2016

A Tale from Mempawah City (2)

....................................................................................................................................................................
Raja Kodung membalas tatapan mata Putri Banyu Mustari dengan tanpa keraguan sedikitpun. “Sebagai raja aku tidak akan pernah mengingkari sumpah yang telah kubuat. Apabila memang benar jari tanganku yang kodung ini bisa disembuhkan, tentulah aku akan menepati ikrarku itu.” Dengan kata-katanya Raja Kodung berhasil meyakinkan Putri Banyu Mustari.
            “Kalau begitu saya akan membawa Paduka ke istana saya. Disanalah saya akan mengobati penyakit Paduka.” Putri Banyu Mustari melangkah menuju sebuah gua. Raja Kodung mengikutinya dari belakang.
Sesampainya di dalam gua, Raja Kodung begitu takjub karena ternyata gua itu sangatlah luas. Di dalamnya terdapat sebuah istana yang megah dan indah. Istana itu terdiri dari tiga bagian, yaitu bagunan utama, sayap kanan, dan sayap kiri. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan ukiran-ukiran dan batu-batu permata yang berkilau. Tangga-tangganya terbuat dari batu granite sehingga terlihat kokoh. Singgasana yang terletak di bangunan utama terlihat menawan bertahtakan emas. Karpet merah bahkan terbentang didepannya.
Di istana itulah Raja Kodung mendapatkan pengobatan dari Putri Banyu Mustari.  Akhirnya, dengan izin Yang Maha Kuasa, tangan Raja Kodung dapat sembuh dan menjadi utuh. Wajah Raja Kodung berbinar cerah karna harapannya untuk memiliki fisik yang sempurna menjadi kenyataan. Ia tak hentinya bersyukur kepada Yang Maha Kuasa atas anugerah yang diterimanya. Setelah itu, sesuai dengan janjinya, ia menikahi Putri Banyu Mustari. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai oleh beberapa orang anak.
Beberapa tahun setelah pernikahan mereka yang bahagia, timbulah kerinduan di hati Raja Kodung akan keluarga dan rakyat di negerinya yang berada di daratan. Sebagai raja dari Kerajaan  Bangkule Rajankng, ia masih memiliki kewajiban untuk memimpin rakyatnya. Ia ingin sekali kembali memimpin kerajaannya tetapi ia juga tidak ingin meninggalkan Putri Banyu Mustari dan anak-anaknya. Selama beberapa waktu hal ini membuatnya menjadi sulit tidur dan kehilangan selera makan. Hingga pada suatu kesempatan ketika mereka semua sedang berkumpul di taman istana, akhirnya ia mengutarakan apa yang ada di hati dan pikirannya kepada Banyu Mustari.
            “Istriku, aku sangat bahagia bila bersama denganmu dan anak-anak kita.” Raja Kodung memegang erat kedua tangan istrinya, Putri Banyu Mustari.
Melihat wajah Raja Kodung yang tidak seperti biasanya, seakan-akan ada batu besar yang diletakkan di atas kepalanya, Banyu Mustari tahu ada hal besar yang ingin disapaikan suaminya. “Suamiku, aku tahu ada hal yang mengganjal di benak dan batinmu belakangan ini. Andai tidak kau katakan kepadaku, bagaimana aku bisa membantumu mengatasi permasalahan yang sedang kau hadapi.” Putri Banyu Mustari menuntun Raja Kodung untuk duduk disebuah kursi yang terbuat dari batu berwarna-warni yang sangat indah. Dihadapannya terdapat sebuah meja bundar yang terbuat dari batu berwarna yang serupa. Mereka duduk saling berhadapan, saling menatap. Tak sedetik pun Banyu Mustari melepaskan genggaman tangan suaminya dari tangannya. “Katakanlah.”
Raja Kodung menghembuskan nafas. “Sebenarnya aku sangat merindukan negeriku. Aku ingin tahu bagaimana kabar keluarga dan rakyatku. Ingin sekali rasanya aku pulang dan memerintah kerajaanku Bangkule Rajankng kembali.”
Seketika itu juga, mendunglah wajah Putri Banyu Mustari. Raja Kodung yang melihat kesedihan di wajah istrinya cepat-cepat berkata, “Jangan salah sangka istriku. Bukan berarti aku tidak bahagia berada di sini. Kau dan anak-anak adalah bagian dari hidupku. Aku sangat bahagia memiliki kalian.” Raja Kodung terdiam sebentar. “Akan tetapi, sebagai raja aku memiliki kewajiban yang harus kutunaikan pada rakyatku. Selain itu, kerinduanku pada kerajaanku begitu kuat menarikku.”
            Pecahlah tangis Banyu Mustari. “Jadi apakah Baginda akan meninggalkan hamba dan anak-anak?” Airmata sudah membasahi pipinya. Dengan sigap dihapuslah buliran air mata itu oleh Raja Kodung dengan jemarinya.
            “Tentu saja tidak istriku. Aku pasti akan membawamu dan anak-anak ke kerajaanku. Bagaimana mungkin kau bisa berpikir bahwa aku akan meninggalkanmu disini sementara aku kembali ke kerajaanku seorang diri.” Raja Kodung berusaha menghibur istrinya.
Suasana menjadi hening. Wajah Putri Banyu Mustari semakin murung. Bibirnya bergetar berusaha menahan agar tangisnya tidak semakin menjadi. “Maafkan saya Baginda. Tapi perlu Baginda ketahui bahwa ketika Baginda kembali ke daratan, maka itu adalah saat terakhir Baginda melihat saya dan anak-anak.”
Mendengar kata-kata Putri Banyu Mustari, terkejutlah hati Raja Kodung karena ia sama sekali tidak menyangka kalimat tersebut akan keluar dari mulut istrinya. “Istriku, mengapa kamu berkata seperti itu? Apakah kamu tidak mengizinkan aku untuk kembali ke daratan?”
Putri Banyu Mustari menggelengkan kepalanya. “Tentulah saya berkata demikian bukan karena saya tidak mengizinkan Baginda untuk kembali kepada kerajaan dan rakyat Baginda di daratan, melainkan karna disana bukanlah dunia saya dan anak-anak sehingga kami tidak bisa tinggal disana.”
Dengan sigap Raja Kodung berkata, “Kalau begitu aku akan kembali lagi kesini mengunjungi kalian.”
Lagi-lagi Putri Banyu Mustari menggeleng. “Sekembalinya Baginda ke daratan, Baginda tidak mungkin lagi kembali ke Negeri Banyu Mustari, negeri alam gaib ini.
Bertambahlah keterkejutan Raja Kodung mendengar pernyataan istrinya. Matanya terbelalak dan lidahnya kelu. Ia menelan ludah lalu bertanya, “Sekalipun aku merindukan kalian, apakah aku tetap tidak mungkin untuk bertemu lagi dengan kalian walau hanya sekejap?”
Senyap. Tidak ada lagi suara yang keluar dari mulut keduanya. Tidak jauh dari tempat mereka berdua berada, terdengar gelak tawa anak-anak mereka yang sedang bermain bersama. Dua pasang mata bergerak mengamati wajah anak-anak itu yang terlukis oleh keceriaan. Raja Kodung memandang mereka dengan wajah cemas dan tertekan. Ia tidak siap jika tidak bisa lagi melihat mereka di kemudian hari. Sementara itu Banyu Mustari pun juga tidak tega apabila anak-anaknya nantinya tidak dapat betemu lagi dengan ayahanda mereka. Akhirnya Putri Banyu Mustari pun angkat bicara.
“Ada satu cara agar Baginda dapat bertemu kembali dengan saya dan anak-anak apabila nanti Baginda rindu dengan kami.”
Wajah Raja Kodung kembali cerah. Matanya berbinar. Kesedihan di raut mukanya tersapu oleh potongan harapan untuk tetap bisa bertemu dengan istri dan anak-anaknya meskipun ia telah kembali ke daratan nantinya. “Apakah itu, istriku?”
“Jika nanti Baginda merindukan saya dan anak-anak, maka siapkanlah sebutir telur ayam kampung yang masih mentah, sebatang paku, sebutir buah kemiri, seulas sirih selengke, sejumput berteh padi, dan beras kuning yang sudah dilumuri minyak bauh. Setelah itu buanglah semua benda tersebut ke dalam sungai Mempawah.” Persyaratan yang diminta oleh Putri Banyu Mustari disambut dengan anggukan kecil dari raja Kodung.
Akhirnya, dengan penuh keharuan Putri Banyu Mustari melepas Raja Kodung untuk kembali ke kerajaannya di daratan. Namun sebelum mereka benar-benar berpisah Putri Banyu Mustari membisikkan sesuatu di telingan Raja Kodung.
“Seandainya nanti di permukaan sungai Mempawah muncul buaya-buaya kuning, janganlah keturunan Baginda mengganggunya. Karena sesungguhnya buaya-buaya kuning tersebut adalah keturunan Baginda dengan saya.
Pesan terakhir istrinya tersebut selalu diingat oleh Raja Kodung. Kemudian, ia pun sampai ke istananya. Kembalinya Raja Kodung ke istana menimbulkan rasa heran di benak setiap orang karena Raja Kodung telah begitu lama menghilang dari negeri Mempawah tua, namun kemudian kembali tanpa kurang apapun bahkan jari tangannya telah utuh dan tidak ada tanda-tanda bahwa jari tangan tersebut pernah buntung. Meskipun begitu, rasa sukacita mereka akan kembalinya Raja Kodung lebih besar dibanding rasa keheranan mereka atas apa yang terjadi pada Raja mereka. Raja Kodung disambut dengan penuh antusias dan kegembiraan oleh seluruh keluarga, warga istana, dan rakyatnya. Semenjak itulah Raja Kodung mulai menduduki kembali tahtanya dan kembali memimpin kerajaannya.
Di sela-sela kesibukannya memerintah kerajaan Bangkule Rajakng, Raja Kodung selalu teringat akan istrinya Bayu Mustari dan anak-anaknya. Ketika rasa rindunya tidak tertahan lagi, Raja Kodung memerintahkan para pelayan istana untuk menyiapkan benda-benda yang dipesankan istrinya untuk dibuang ke dalam suangai Mempawah. Benda-benda seperti; sebutir telur ayam kampung yang masih mentah, sebatang paku, sebutir buah kemiri, seulas sirih seleke, sejumput berteh padi, dan juga beras kuning yang sudah dilumuri minyak bauh, akan menjadi media ritual untuk mempertemukan Raja Kodung dengan istri dan anak-anaknya yang ada di dasar sungai Mempawah.
Barang-barang tersebut kemudian dibawa oleh Raja Kodung ke tepian sungai Mempawah kemudian dibuang dengan cara yang penuh kesopanan. Tidak berapa lama setelah semua benda itu tenggelam ke dalam air sungai Mempawah, air sungai tersebut yang mulanya tenang menjadi beriak-riak dan berbuih tebal. Setelah itu muncullah beberapa ekor buaya ke permukaan sungai. Sisik buaya-buaya tersebut berwarna kuning. Melihat buaya-buaya tersebut, Raja Kodung sama sekali tidak terkejut karena apa yang ia lihat sekarang sama persis dengan apa yang dipesankan istrinya. Buaya-buaya kuning tersebut adalah istri dan anak-anaknya.
Buaya yang paling besar berukuran lebih dari 8 meter. Dikepalanya terdapat mahkota bertabur permata yang sama persis seperti yang dimiliki putri Banyu Mustari. Buaya-buaya yang lainnya berukuran lebih kecil sekitar 5 meter dan tidak memakai mahkota. Sorot mata buaya-buaya tersebut seolah-olah menyiratkan kerinduan yang sangat besar kepada Raja Kodung.
Raja Kodung berlutut dengan salah satu kaki menjadi tumpuannya. Buaya-buaya tersebut berenang mendekati Raja Kodung sehingga menimbukan riak di air dan membuat keruh air sungai. Mereka terus berenang dengan perlahan hingga hampir tidak ada jarak diantara mereka. Kaki depan mereka menapak daratan. Terlihat kuku-kuku mereka yang tajam dan runcing. Sementara itu, setengah badan mereka masih berada di bawah air. Tanpa rasa takut, Raja Kodung membelai buaya-buaya itu satu persatu dengan penuh kasih sayang. 
   “Terimakasih karena kalian telah bersedia datang. Kalian harus tahu, seperti apapun wujud kalian, aku akan selalu mencintai dan mengasihi kalian.” Kedua tangan Raja Kodung masih mengelus lembut kepala salah satu buaya yang memakai mahkota yangmana merupakan penjelmaan istrinya, Putri Banyu Mustari. Di tangannya, kulit buaya itu terasa keras dan kasar. Namun, hal ini tidak sedikitpun mengurangi perasaannya kepada Banyu Mustari.
Walaupun tidak ada yang bisa diucapkan oleh para buaya kuning tersebut, mata mereka menunjukkan pemahaman yang dalam. Butiran-butiran air mata menggenang dan menetes dari mata mereka sebelum akhirnya mereka masuk kembali ke dalam air sungai. Pertemuan tersebut meskipun singkat tetapi cukup untuk mengobati kerinduan Raja Kodung terhadap istri dan keturunannya.
Semenjak itu, Raja Kodung memerintahkan kepada seluruh rakyatnya agar tidak pernah mengganggu semua buaya kuning yang ada atau muncul di permukaan sungai Mempawah. Selain itu ia pun rutin melakukan acara pemanggilan buaya-buaya kuning yang merupakan istri dan keturunan-keturunannya. Hal ini dilakukannya semata-mata karena rasa sayangnya kepada istri dan keturunan-keturunannya. Kabiasaannya ini dikenal oleh rakyat Mempawah sebagai ritual “buang-buang.”

Raja Kodung berharap agar keluarganya yang berada di darat selalu mengkomunikasikan semua peristiwa yang terjadi di daratan kepada saudara-saudara yang berada di dalam alam gaib melalui pelaksanaan adat buang-buang. Bahkan hingga saat ini sebagian besar mayarakat Mempawah masih melaksanakan ritual ini sebagai pengingat bahwa manusia tidak hidup sendiri di dunia ini melainkan masih terdapat alam lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa. Selain itu hal ini juga dilakukan sebagai bentuk pengormatan kepada alam dan lingkungan yang merupakan sumber kehidupan manusia.

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar