Senin, 14 September 2015

Komunikasi Antar Budaya Sebagai Solusi dari Kemajemukan Budaya Lokal Masyarakat Etnik di Kalimantan Barat



Pendahuluan
Masyarakat Kalimantan barat bersifat majemuk. Dilihat dari aspek etnisitas, Kalimantan Barat merupakan tempat bermukim bagi kelompok masyarakat Melayu, Dayak, dan Tionghoa. Masing-masing dari komunitas masyarakat tersebut memiliki budaya dan tradisi yang mencerminkan keunikannya tersendiri. Kemajemukan budaya dari tiga etnis terbesar di Kalbar tersebut sesungguhnya menyimpan potensi yang luar biasa besar apabila dikelola dengan baik. Keanekaragaman budaya ini dapat menciptakan keanekaragaman pengalaman, nilai, dan memperkaya cara pandang akan kehidupan masyarakat lainnya.
Setiap budaya memiliki keunikannya tersendiri sehingga menjadi ciri masyarakat pelakunya. Budaya yang merupakan identitas diri masyarakat ini harus terus dipelihara dan dikembangkan karena tanpa adanya identitas, eksistensi suatu masyarakat akan sulit diakui. Dalam pelaksanaannya, pengembangan tersebut hendaknya dapat memberikan dampak yang positif  berupa kedamaian dan kesejahterahan bagi masyarakat Kalimantan barat.
Dewasa ini kebudayaan lokal di Kalimantan Barat dihadapkan pada dua permasalahan utama terkait keanekaragaman budaya dan eksistensinya di bumi Borneo ini. Permasalahan pertama ialah, kemajemukan masarakat Kalimantan barat yang multikultural ini rawan akan terjadinya konflik antar budaya. Selain ditempati oleh tiga etnis besar (Melayu, Dayak, dan Tionghoa), daerah yang terletak di koordinat 3º 20′ LS – 2º 30′ LU 107º 40′ – 114º 30′ BT ini juga dihuni oleh masyarakat dari suku bangsa lainnya seperti Bugis, Jawa, Madura, Sunda, Batak dan lainnya. Perbedaan masyarakat yang membawa perbedaan kebudayaan menimbulkan perbedaan cara interaksi sosial, cara pandang kehidupan, dan cara pemahaman atas budaya lain yang berbeda dari miliknya.
Permasalahan yang kedua ialah, kebudayaan lokal yang beraneka ragam mulai tergusur seiring dengan derasnya arus globalisasi. Hal ini apabila terus-menerus dibiarkan akan mengganggu eksistensi dan bahkan menghilangkan identitas masyarakat lokal. Padahal, semestinya kebudayaan menjadi salah satu pegangan ketika berinteraksi dengan kebudayaan luar. Kamampuan untuk memadukan kebudayaan lokal dengan arus perubahan akan membantu masyarakat untuk terus mengikuti perkembangan teknologi dan kebudayaan dari luar tanpa mengabaikan kebudayaan lokal.

Kebudayaan Lokal sebagai Wujud Identitas Masyarakat
Kebudayaan sebagaimana yang diungkapkan oleh E. B. Taylor (1871) ialah kompleks keseluruhan yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan di Kalimantan Barat sangat beranekaragam karena masyarakat yang menempatinya pun beraneka macam terdiri dari masyarakat Melayu, Dayak, Tionghoa, Jawa, Sunda, Madura, Bugis dan lainnya. Keanekaragaman ini dapat menjadi kebanggaan sekaligus tantangan untuk terus dipertahankan sampai ke generasi selanjutnya.
Kebudayaan yang diciptakan oleh suatu masyarakat menjadi suatu tanda pengenal bagi masyarakat tersebut. Kebudayaan yang diciptakan oleh suatu kelompok masyarakat tidak diciptakan begitu saja, namun membutuhkan waktu yang sangat lama untuk diketahui, ditaati, dan diimplementasikan ke dalam kehidupan masyarakat tersebut. Kesamaan budaya inilah yang kemudian menjadi suatu karakter unik dan menjadi identitas budaya suatu kelompok masyarakat yang membedakan dengan masyarakat lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh Alo Liliweri (2003) identitas budaya ialah rincian karakteristik atau ciri-ciri khas sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain.
Budaya Lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh suatu wilayah dan mencerminkan keadaan sosial di wilayahnya. Hal-hal yang termasuk budaya lokal diantaranya ritual kedaerahan, adat istiadat daerah, cerita rakyat, dan segala sesuatu yang bersifat kedaerahan. Dengan mempelajari dan membandingkan kebudayaan setiap etnis dalam masyarakat, maka akan timbul pemahaman terhadap segala persamaan maupun perbedaan yang ada untuk pada akhirnya mencapai komunikasi yang efektif untuk terciptanya integrasi sosial.

Kemajemukan kebudayaan Lokal yang Hidup Dalam Masyarakat Melayu, Dayak, dan Tionghoa.
Masyarakat Kalimantan barat merupakan masyarakat yang majemuk karena terdiri dari berbagai latar belakang budaya. Menurut Kluckhohn dan Strodtbec (1961) dalam Arkanudin (2012) faktor perbedaan budaya yang tercermin dalam perbedaan sistem nilai budaya dan sistem orientasi budaya suatu masyarakat potensial menimbulkan konflik sosial. Namun, dalam kehidupan masyarakat Kalimantan barat, ada beberapa kebudayaan dari etnis Melayu, Dayak, dan Tionghoa yang meskipun berbeda tetapi tetap mengedepankan kebersamaan. Berikut ini akan dibahas mengenai beberapa dari sekian banyak kebudayaan yang lebih mengedepankan kebersamaan dibandingkan kesukuan.
A. Kebudayaan Masyarakat Melayu.
Masyarakat Melayu adalah masyarakat etnik mayoritas yang tersebar di kawasan pesisir dan telah lama mendiami daerah Kalimantan Barat. Kebudayaan Melayu di Kalimantan Barat sangat kental oleh unsur kebudayaan Islam. ‘Melayu itu beradat’ merupakan salah satu dari lima falsafah yang dimiliki oleh masyarakat melayu. Salah satu adat budaya yang masih dipegang dan dilaksanakan oleh masyarakat Melayu ini adalah saprahan. Saprahan merupakan jamuan makan berkelompok. Tradisi saprahan ini dilakukan pada acara-acara tertentu, seperti acara pernikahan, sunatan, selamatan, dan acara lainnya. Dalam jamuan semacam ini biasanya tamu undangan duduk bersila di lantai secara berkelompok. Jamuan antara undangan pria dan undangan wanita dilakukan dalam waktu yang berbeda namun masih dalam tempat yang sama. Yang unik dari makan bersaprah ini ialah para tamu undangan harus makan menggunakan tangan yang mana dilakukan setelah semua tamu mendapat hidangan. Selain itu, terdapat ketentuan bahwa dalam satu kelompok harus terdapat enam orang tamu undangan dan lima jenis makanan.
Dilihat dari tata cara pelaksanaannya, budaya saprahan kental dengan nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, dan kesederhanaan. Berbagai macam orang dengan latar belakang yang bervariasi mulai dari yang tua, muda, kaya, miskin, mereka duduk bersama beralas lantai dengan makanan yang sama pula dan apa adanya. Rasa kebersamaan dan kekeluargaan ini nantinya akan memunculkan rasa persaudaraan dan solidaritas karena antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya menjadi saling mengenal.
Selain budaya saprahan, masyarakat etnik Melayu juga memiliki acara ritual antar ajung. Antar Ajung merupakan acara ritual adat untuk menanam padi. Ritual ini dipercayai oleh masyarakat lokal (khususnya masyarakat pesisir Sambas) dapat  meghindarkan tanaman padi mereka dari serangan hama dan penyakit. Dalam upacara adat budaya ini, perahu ajung yang berisikan perbekalan berupa kue adat, ketupat pulut, cucur, nasi pulut, dan yang lainnya dilepaskan ke laut. Di tengah-tengah pelaksanaannya, terdapat acara menjemput beras kuning dan retih yang kemudian ditaburkan ke ajung. Setelah itu warga masyarakat akan berdatangan kerumah salah satu warga dengan membawa ketupat dimana sang tuan rumah akan meyediakan kopi, teh, dan makanan kecil untuk disantap bersama-sama. Hal ini benar-benar menunjukkan rasa kebersamaan dan kekompakan yang tinggi antar masyarakat etnik melayu dan masyarakat etnik lainnya.
Budaya lokal masyarakat tidak hanya dapat diekspresikan melalui bentuk tradisi upacara seperti saprahan dan antar ajung yang telah dibahas sebelumnya. Budaya lokal juga dapat dinyatakan melalui tradisi lisan berupa ungkapan tradisional. Ungkapan tradisional menjabarkan nilai-nilai masyarakat yang dijadikan sebagai panduan dalam memandang dan menyikapi hidup. Salah satu contoh ungkapan tradisional masyarakat Melayu Kalbar yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari yaitu ‘dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.’ Ungkapan ini mengandung makna untuk menghormati tata krama, adat istiadat, nilai-nilai anutan dan budaya setempat. Ungkapan ini sejatinya tidak hanya digunakan oleh masyarakat dan di tanah Melayu saja melainkan juga dapat digunakan dan diterapkan oleh masyarakat dari etnis lainnya seperti Dayak, Tionghoa, Bugis dan lainnya. Baik tradisi adat budaya maupun tradisi lisan Masyarakat Melayu ini sama-sama menunjukkan bahwa nilai-nilai kebersamaan masih terasa kuat dan diantara kalangan masyarakat Melayu namun juga tidak menutup diri terhadap masyarakat etnik lainnya.
Dapat dikatakan pula bahwa tradisi upacara maupun tradisi lisan berupa ungkapan tradisional merupakan unsur budaya yang memiliki banyak nilai berupa nasihat, pesan, maupun petunjuk yang dapat berguna bagi kehidupan manusia. Jadi, semestinyalah dilakukan upaya-upaya untuk melestarikannya sehingga kebudayaan tersebut tidak hilang begitu saja.
B. Kebudayaan Masyarakat Dayak
Masyarakat Dayak memiliki tradisi budaya naik dango. Upacara naik dango merupakan upacara syukuran padi yang dilaksanakan setahun sekali. Dalam kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn, upacara ini merupakan salah satu konsekuensi logis penghormatan tertinggi dari padi. Ritual tutup tahun ini ditujukan untuk menunjukkan rasa syukur dan terimakasih atas segala kebaikan dan berkat yang diberikan kepada mereka sepanjang tahun dalam bentuk padi.
Bentuk kebudayaan naik dango mencerminkan suatu nilai religius dimana Sang Pencipta ditempatkan sebagai pusat penciptaan yang memiliki makna apa yang diperoleh atas karunia Sang Pencipta diserahkan kembali kepada-Nya untuk disimpan. Selain itu, kebudayaan semacam ini mampu menciptakan rasa kekeluargaan dan solidaritas karena penyelenggaraannya yang dilakukan serentak dalam wilayah kesatuan adat tertentu memungkinkan adanya kunjungan antar keluarga terdekat.
Selain upacara naik dango, masyarakat Dayak juga memiliki ritual budaya upacara adat buah yang merupakan upacara untuk menyambut musim buah. Upacara ini merupakan upacara khas dari masyarakat Dayak Pesaguan yang tinggal di hutan-hutan Ketapang, Kalimantan Barat. Tradisi budaya ini ditujukan untuk menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan dan sebagai penghormatan kepada alam atas panen yang berlimpah. Upacara adat buah terdiri dari empat tahap, yaitu: (1) Memorum Dowun Memangkah Doha, yakni ritual saat kuntum mulai tumbuh, (2) Merimbang Bunga atau memelihara bunga, yakni pada saat bunga sudah mulai kembang, (3) Menimang atau Mamandian Pansai (memandikan buah), yakni saat kembang berubah menjadi buah, (4) Menyambit buah, yakni mengambil buah saat masak (Tim Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2008).
Terdapat banyak sekali nilai luhur yang dapat diambil dari budaya tersebut. Salah satunya ialah nilai kesederhanaan, kebersamaan dan penghargaan terhadap alam. Sebagai makhluk yang telah menerima begitu banyak dari alam, memang sudah sepatutnya manusia mensyukurinya dengan cara menghormati dan merawat alam bersma-sama.
Selain upacara tradisinya yang unik, masyarakat Dayak juga mengenal sungkaatn. Sungkaatn merupakan salah satu dari bentuk tradisi lisan yang dituturkan secara langsung secara turun temurun. Tradisi lisan mengandung banyak nilai positif  yang dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat terkait dengan kandungan, pesan moral, kepercayaan, dan norma masyarakat di dalamnya. Bagi etnis Dayak, tradisi lisan merupakan penghubung generasi masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang.
Sungkaatn ialah cerita dalam bentuk perumpamaan/pepatah yangmana biasanya dikaitkan dengan lingkungan sekitar mengenai peringatan, penjelasan, atau nasihat. Salah satu contoh sungkaatn yang biasa ditemui, yaitu ‘Tamu diberi makan, Melayu diberi beras.’ Maksudnya ialah masyarakat Dayak sangat menghargai perbedaan sehingga jika yang bertamu adalah sesama Dayak maka akan diberi makanan yang sama dengannya, jika Melayu (identik dengan Islam) akan diberi beras supaya masak sendiri dan nanti dimakan bersama. Hal ini menunjukkan bahawa masyarakat Dayak menghormati perbedaan yang ada dari etnik lainnya.
C. Kebudayaan Masyarakat Tionghoa
Salah satu tradisi kebudayaan masyarakat Tionghoa ialah tahun baru imlek. Tahun baru imlek merupakan tradisi untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa dan juga sebagai doa harapan agar tahun depan mendapat rezeki lebih banyak. Tahun baru ini dimulai di hari pertama bulan purnama (penanggalan Tionghoa) dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal ke limabelas (pada saat bulan purnama). Jadi, imlek selalu dirayakan selama 15 hari berturut-turut. Pada perayaan imlek ini, setiap anggota keluarga akan bersilahturahmi dan saling berbagi sehingga perayaan ini sangatlah tepat untuk dijadikan momen penting dalam menjalin kasih terhadap setiap anggota keluarga.
Dalam acara Cap Go meh juga terdapat tatung. Tatung merupakan media utama Cap Go Meh yang menjadi simbol dalam pengusiran roh-roh  jahat dan peniadaan kesialan. Atraksi tatung menampilkan upacara pemanggilan roh-roh yang kemudian merasuki orang-orang terpilih. Roh-roh tersebut diyakini sebagai roh-roh baik yang yang mampu menangkal roh-roh jahat yang hendak mengganggu keharmonisan hidup masyarakat.
Yang cukup menarik ialah bahwa ternyata tatung merupakan peleburan budaya pribumi dan budaya China. Karena itulah, banyak orang Dayak yang juga turut serta menjadi tatung. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi asimilasi budaya Tionghoa dengan penduduk lokal.
Festival cap go meh di Singkawang
Masyarakat Tionghoa menjunjung penghormatan terhadap perbedaan. Hal ini tercermin dari pepatah Cina yang banyak digunakan yaitu ‘Jip kang sui suan, jip koi sui nyak.’ Jika masuk sungai harus sesuai belokannya, masuk kampung harus sesuai adat setempat. Jadi, maksudnya ialah bahwa kita harus saling menghormati, menghargai, dan menjunjung perbedaan dalam masyarakat.

Komunikasi Antar Budaya sebagai upaya mencegah konflik antar budaya masyarakat dan Tergerusnya Kebudayaan Lokal Akibat Globalisasi.
Keragaman struktur budaya yang berakar pada perbedaan standar nilai kebudayaan ini memungkinkan untuk terjadinya konflik antar budaya. Karnanya, diperlukan toleransi untuk menerima kenyataan bahwa antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya memiliki perbedaan yang melekat pada etnisitas sosial dan budayanya. Dengan demikian maka mereka dapat hidup berdampingan satu sama lain. Apabila kemajemukan budaya dan kemajemukan masyarakat yang ada di Kalbar ini tidak disertai dengan rasa toleransi dan saling menghargai antar sesama masyarakat, keharmonisan hidup antar masyarakat akan terancam.
Selain dengan cara menumbuhkan rasa toleransi antar masyarakat, konflik antar etnis yag didasari perbedaan budaya juga dapat diminimalisir atau bahkan dicegah dengan terciptanya komunikasi antar budaya. Menurut Steward L. Tubbs, komunikasi antar budaya ialah komunikasi yang terjadi diantara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda dalam hal ras, etnik, atau sosial ekonomi (Intercultural communication as communication between members of different cultures whether defined in terms of racial, ethic, or socioeconomic differences). Sedangkan menurut Fred E. Jandt komunikasi antarbudaya ialah interaksi tatap muka diantara orang-orang yang berbeda budayanya (intercultural communication generally refers to face-to face interaction among people of divers culture). Sehingga, dapat dikatakan bahwa komunikasi antar budaya ini ialah proses pertukaran pikiran dan pertukaran makna yang terjadi diantara orang-orang yang berbeda budayanya.
Komunikasi antar budaya ini terjadi ketika pesan yang harus ditangkap dan dipahami, diproduksi oleh masyarakat dari suatu budaya tertentu diproses dan dikonsumsi oleh masyarakat dari budaya yang lain. Komunikasi semacam ini dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya ialah negosiasi, pertukaran simbol, bimbingan perilaku budaya yang kesemuanya bertujuan untuk menunjukkan fungsi sebuah kelompok. Dengan adanya komunikasi yang intens, akar sebuah konflik dapat dipahami sehingga kesalahpahaman yang berpotensi menimbulkan konflik sosial dapat dikurangi.
Komunikasi antar budaya perlu dilakukan untuk membantu memahami perbedaan budaya yang ada dan untuk membantu mengatasi masalah komunikasi akibat perbedaan budaya tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Alo liliweri (2003) tentang beberapa alasan perlunya komunikasi antar budaya, antara lain (a) membuka diri memperluas pergaulan, (b) meningkatkan kesadaran diri, (c) etika/etis, (d) mendorong perdamaian dan meredam konflik, (e) demografis, (f) ekonomi, (g) menghadapi teknologi komunikasi, (h) menghadapi era globalisasi. Jadi, untuk dapat mencapai perdamaian dan meredam konflik ditengah-tengah keragaman, orang-orang yang berbeda kebudayaannya semestinya memahami situasi dan kondisi budaya lain melalui komunikasi antar budaya agar mampu mengkomunikasikan perbedaan-perbedaan yang ada. Semakin baik kita mengenal dan memahami budaya lain maka akan semakin besar rasa toleransi kita untuk hidup berdampingan secara harmonis dengan budaya lainnya.
Komunikasi antar budaya dapat juga dijadikan sebagai solusi agar kebudayaan-kebudayaan lokal tidak terus tergerus oleh budaya luar. Pesatnya arus globalisasi menyebabkan kebudayaan-kebudayaan lokal yang ada di Kalimantan Barat mulai hilang sedikit demi sedikit. Kebudayaan lokal yang tergusur modernisasi dan globalisasi tidak hanya menyebabkan masyarakat etnik kehilangan identitasnya tetapi juga terganggu eksistensinya. Kebudayaan etnik sudah mulai kurang dipraktikkan lagi sepenuhnya dalam khidupan bermasyarakat. Seiring perkembangan zaman, masyarakat lebih banyak memilih kebudayaan baru yang lebih praktis dibandingkan kebudayaan lokal.
Komunikasi antar budaya ini sangat berpengaruh terhadap ketahanan budaya bangsa. Dengan adanya komunikasi antar budaya yang efektif, perselisihan antar etnik yang berdampak pada turunnya ketahan budaya lokal dapat diminimalisir.
Keefektifan komunikasi antar budaya ini menghasilkan perpaduan dan keharmonisan antar etnik yang mana terlihat dari kesediaan masyarakat untk menyesuaikan diri dengan enik-etnik lain yang ada di lingkungannya. Salah satu penyesuaian diri yang dilakukan sebagai hasil komunikasi antar budaya ialah pengadopsian nilai-nilai budaya dari etnis setempat. Hal ini terlihat jelas dari berbagai macam tradisi yang sebelumnya telah dibahas yaitu budaya saprahan, cap go meh, naik dango, dan lainnya yang walaupun berasal dari etnik dan kebudayaan yang berbeda tetapi dapat menjadi simbol interaksi dan pembauran. Dari kegiatan budaya tersebut, masyarakat dari berbagai etnis, mereka bersatu dan berinteraksi satu sama lain dan menjaga kerukunan bersama. Dengan saling mengenal dan saling memahami keanekaragaman antar etnis dapat semakin memperkokoh daya rekat sosial bagi kehidupan masyarakat yang aman dan damai dalam persatuan. 

Penutup
Kalimantan Barat merupakan daerah yang kaya akan keanekaragaman budaya karena terdiri dari berbagai etnik masyarakat dimana masing-masing etnik masyarakat tersebut memiliki perbedaan dan keunikan budaya. Kebudayaan lokal yang sangat beraneka ragam menjadi kebanggan tersendiri bagi daerah Kalimantan Barat sekaligus menjadi tantangan akan kemampuan untuk dapat mempertahankannya agar tidak hilang begitu saja.
Jika dilihat dari kebudayaan masyarakat etnis Melayu, Dayak, dan Tionghoa yang merupakan tiga etnis terbesar di Kalimantan barat, terdapat banyak sekali adat budaya yang dapat mempersatukan manusia dari berbagai latar belakang etnis. Karena itulah, perlu adanya komunikasi antar budaya agar berbagai macam etnis yang ada dapat membaur berinteraksi satu sama lain dan kemungkinan untuk terjadinya konflik semakin minim. Hal seperti ini apabila dijaga akan menjadikan masyarakat Kalimantan barat sebagai masyarakat yang memiliki identitas diri yang kuat namun tetap mampu untuk terus hidup harmonis dalam perbedaan.
Sejalan dengan arus perkembangan modern, budaya luar dapat menghilangkan budaya lokal masyarakat apabila tidak dijaga kelestariannya. Dalam hal ini, komunikasi antar budaya juga diperlukan untuk menjaga ketahanan budaya. Kemampuan komunikasi antar budaya sangat penting agar tidak terjadi kesalahpahaman yang dianut. Dengan meningkatkan intensitas komunikasi antar budaya ini, maka perselisihan antar etnik yang memicu turunnya ketahanan budaya dapat ditekan kadarnya.

Kepustakaan
Arkanudin. 2012. Menelusuri Konflik Antaretnik khususnya Dayak dengan Madura di Kalimantan Barat. http://prof-arkan.blogspot.com/2012/04/menelusuri-akar-konflik-antar-etnik.html
Jand, Fred. E. 2003. Intercultural communication. Sage Publication, inc.
Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Steward L. Tubbs and Sylvia Moss. 1996. Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi. Bandung. Remaja Rosdakarya. Hal 235-238
Tim Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional. 2008. Upacara Adat Masyarakat Dayak Pesaguan Kecamatan Tumbang Titi Kabupaten Ketapang. Pontianak: Departemen Pendidikan dan Pariwisata, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Tylor, Edward. 1871. dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya




Tidak ada komentar:

Posting Komentar