....................................................................................................................................................................
Raja Kodung membalas tatapan mata Putri
Banyu Mustari dengan tanpa keraguan sedikitpun. “Sebagai raja aku tidak akan
pernah mengingkari sumpah yang telah kubuat. Apabila memang benar jari tanganku
yang kodung ini bisa disembuhkan, tentulah aku akan menepati ikrarku itu.”
Dengan kata-katanya Raja Kodung berhasil meyakinkan Putri Banyu Mustari.
“Kalau
begitu saya akan membawa Paduka ke istana saya. Disanalah saya akan mengobati
penyakit Paduka.” Putri Banyu Mustari melangkah menuju sebuah gua. Raja Kodung
mengikutinya dari belakang.
Sesampainya di dalam gua, Raja Kodung
begitu takjub karena ternyata gua itu sangatlah luas. Di dalamnya terdapat
sebuah istana yang megah dan indah. Istana itu terdiri dari tiga bagian, yaitu
bagunan utama, sayap kanan, dan sayap kiri. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan
ukiran-ukiran dan batu-batu permata yang berkilau. Tangga-tangganya terbuat
dari batu granite sehingga terlihat kokoh. Singgasana yang terletak di bangunan
utama terlihat menawan bertahtakan emas. Karpet merah bahkan terbentang
didepannya.
Di istana itulah Raja Kodung
mendapatkan pengobatan dari Putri Banyu Mustari. Akhirnya, dengan izin Yang Maha Kuasa, tangan
Raja Kodung dapat sembuh dan menjadi utuh. Wajah Raja Kodung berbinar cerah
karna harapannya untuk memiliki fisik yang sempurna menjadi kenyataan. Ia tak
hentinya bersyukur kepada Yang Maha Kuasa atas anugerah yang diterimanya.
Setelah itu, sesuai dengan janjinya, ia menikahi Putri Banyu Mustari. Dari
pernikahan tersebut, mereka dikaruniai oleh beberapa orang anak.
Beberapa tahun setelah pernikahan
mereka yang bahagia, timbulah kerinduan di hati Raja Kodung akan keluarga dan
rakyat di negerinya yang berada di daratan. Sebagai raja dari Kerajaan Bangkule Rajankng, ia masih memiliki
kewajiban untuk memimpin rakyatnya. Ia ingin sekali kembali memimpin
kerajaannya tetapi ia juga tidak ingin meninggalkan Putri Banyu Mustari dan
anak-anaknya. Selama beberapa waktu hal ini membuatnya menjadi sulit tidur dan
kehilangan selera makan. Hingga pada suatu kesempatan ketika mereka semua
sedang berkumpul di taman istana, akhirnya ia mengutarakan apa yang ada di hati
dan pikirannya kepada Banyu Mustari.
“Istriku,
aku sangat bahagia bila bersama denganmu dan anak-anak kita.” Raja Kodung
memegang erat kedua tangan istrinya, Putri Banyu Mustari.
Melihat wajah Raja Kodung yang tidak
seperti biasanya, seakan-akan ada batu besar yang diletakkan di atas kepalanya,
Banyu Mustari tahu ada hal besar yang ingin disapaikan suaminya. “Suamiku, aku
tahu ada hal yang mengganjal di benak dan batinmu belakangan ini. Andai tidak
kau katakan kepadaku, bagaimana aku bisa membantumu mengatasi permasalahan yang
sedang kau hadapi.” Putri Banyu Mustari menuntun Raja Kodung untuk duduk
disebuah kursi yang terbuat dari batu berwarna-warni yang sangat indah.
Dihadapannya terdapat sebuah meja bundar yang terbuat dari batu berwarna yang
serupa. Mereka duduk saling berhadapan, saling menatap. Tak sedetik pun Banyu
Mustari melepaskan genggaman tangan suaminya dari tangannya. “Katakanlah.”
Raja Kodung menghembuskan nafas.
“Sebenarnya aku sangat merindukan negeriku. Aku ingin tahu bagaimana kabar
keluarga dan rakyatku. Ingin sekali rasanya aku pulang dan memerintah
kerajaanku Bangkule Rajankng kembali.”
Seketika itu juga, mendunglah wajah
Putri Banyu Mustari. Raja Kodung yang melihat kesedihan di wajah istrinya
cepat-cepat berkata, “Jangan salah sangka istriku. Bukan berarti aku tidak
bahagia berada di sini. Kau dan anak-anak adalah bagian dari hidupku. Aku
sangat bahagia memiliki kalian.” Raja Kodung terdiam sebentar. “Akan tetapi,
sebagai raja aku memiliki kewajiban yang harus kutunaikan pada rakyatku. Selain
itu, kerinduanku pada kerajaanku begitu kuat menarikku.”
Pecahlah
tangis Banyu Mustari. “Jadi apakah Baginda akan meninggalkan hamba dan
anak-anak?” Airmata sudah membasahi pipinya. Dengan sigap dihapuslah buliran air
mata itu oleh Raja Kodung dengan jemarinya.
“Tentu
saja tidak istriku. Aku pasti akan membawamu dan anak-anak ke kerajaanku.
Bagaimana mungkin kau bisa berpikir bahwa aku akan meninggalkanmu disini
sementara aku kembali ke kerajaanku seorang diri.” Raja Kodung berusaha
menghibur istrinya.
Suasana menjadi hening. Wajah Putri
Banyu Mustari semakin murung. Bibirnya bergetar berusaha menahan agar tangisnya
tidak semakin menjadi. “Maafkan saya Baginda. Tapi perlu Baginda ketahui bahwa
ketika Baginda kembali ke daratan, maka itu adalah saat terakhir Baginda
melihat saya dan anak-anak.”
Mendengar kata-kata Putri Banyu
Mustari, terkejutlah hati Raja Kodung karena ia sama sekali tidak menyangka
kalimat tersebut akan keluar dari mulut istrinya. “Istriku, mengapa kamu
berkata seperti itu? Apakah kamu tidak mengizinkan aku untuk kembali ke
daratan?”
Putri Banyu Mustari menggelengkan
kepalanya. “Tentulah saya berkata demikian bukan karena saya tidak mengizinkan
Baginda untuk kembali kepada kerajaan dan rakyat Baginda di daratan, melainkan
karna disana bukanlah dunia saya dan anak-anak sehingga kami tidak bisa tinggal
disana.”
Dengan sigap Raja Kodung berkata,
“Kalau begitu aku akan kembali lagi kesini mengunjungi kalian.”
Lagi-lagi Putri Banyu Mustari
menggeleng. “Sekembalinya Baginda ke daratan, Baginda tidak mungkin lagi
kembali ke Negeri Banyu Mustari, negeri alam gaib ini.
Bertambahlah keterkejutan Raja Kodung
mendengar pernyataan istrinya. Matanya terbelalak dan lidahnya kelu. Ia menelan
ludah lalu bertanya, “Sekalipun aku merindukan kalian, apakah aku tetap tidak
mungkin untuk bertemu lagi dengan kalian walau hanya sekejap?”
Senyap. Tidak ada lagi suara yang
keluar dari mulut keduanya. Tidak jauh dari tempat mereka berdua berada,
terdengar gelak tawa anak-anak mereka yang sedang bermain bersama. Dua pasang
mata bergerak mengamati wajah anak-anak itu yang terlukis oleh keceriaan. Raja
Kodung memandang mereka dengan wajah cemas dan tertekan. Ia tidak siap jika
tidak bisa lagi melihat mereka di kemudian hari. Sementara itu Banyu Mustari
pun juga tidak tega apabila anak-anaknya nantinya tidak dapat betemu lagi
dengan ayahanda mereka. Akhirnya Putri Banyu Mustari pun angkat bicara.
“Ada satu cara agar Baginda dapat
bertemu kembali dengan saya dan anak-anak apabila nanti Baginda rindu dengan
kami.”
Wajah Raja Kodung kembali cerah.
Matanya berbinar. Kesedihan di raut mukanya tersapu oleh potongan harapan untuk
tetap bisa bertemu dengan istri dan anak-anaknya meskipun ia telah kembali ke
daratan nantinya. “Apakah itu, istriku?”
“Jika nanti Baginda merindukan saya dan
anak-anak, maka siapkanlah sebutir telur ayam kampung yang masih mentah,
sebatang paku, sebutir buah kemiri, seulas sirih selengke, sejumput berteh
padi, dan beras kuning yang sudah dilumuri minyak bauh. Setelah itu buanglah
semua benda tersebut ke dalam sungai Mempawah.” Persyaratan yang diminta oleh
Putri Banyu Mustari disambut dengan anggukan kecil dari raja Kodung.
Akhirnya, dengan penuh keharuan Putri
Banyu Mustari melepas Raja Kodung untuk kembali ke kerajaannya di daratan.
Namun sebelum mereka benar-benar berpisah Putri Banyu Mustari membisikkan
sesuatu di telingan Raja Kodung.
“Seandainya nanti di permukaan sungai
Mempawah muncul buaya-buaya kuning, janganlah keturunan Baginda mengganggunya.
Karena sesungguhnya buaya-buaya kuning tersebut adalah keturunan Baginda dengan
saya.
Pesan terakhir istrinya tersebut selalu
diingat oleh Raja Kodung. Kemudian, ia pun sampai ke istananya. Kembalinya Raja
Kodung ke istana menimbulkan rasa heran di benak setiap orang karena Raja
Kodung telah begitu lama menghilang dari negeri Mempawah tua, namun kemudian
kembali tanpa kurang apapun bahkan jari tangannya telah utuh dan tidak ada
tanda-tanda bahwa jari tangan tersebut pernah buntung. Meskipun begitu, rasa
sukacita mereka akan kembalinya Raja Kodung lebih besar dibanding rasa
keheranan mereka atas apa yang terjadi pada Raja mereka. Raja Kodung disambut
dengan penuh antusias dan kegembiraan oleh seluruh keluarga, warga istana, dan
rakyatnya. Semenjak itulah Raja Kodung mulai menduduki kembali tahtanya dan
kembali memimpin kerajaannya.
Di sela-sela kesibukannya memerintah
kerajaan Bangkule Rajakng, Raja Kodung selalu teringat akan istrinya Bayu Mustari
dan anak-anaknya. Ketika rasa rindunya tidak tertahan lagi, Raja Kodung
memerintahkan para pelayan istana untuk menyiapkan benda-benda yang dipesankan
istrinya untuk dibuang ke dalam suangai Mempawah. Benda-benda seperti; sebutir
telur ayam kampung yang masih mentah, sebatang paku, sebutir buah kemiri,
seulas sirih seleke, sejumput berteh padi, dan juga beras kuning yang sudah
dilumuri minyak bauh, akan menjadi media ritual untuk mempertemukan Raja Kodung
dengan istri dan anak-anaknya yang ada di dasar sungai Mempawah.
Barang-barang tersebut kemudian dibawa
oleh Raja Kodung ke tepian sungai Mempawah kemudian dibuang dengan cara yang
penuh kesopanan. Tidak berapa lama setelah semua benda itu tenggelam ke dalam
air sungai Mempawah, air sungai tersebut yang mulanya tenang menjadi
beriak-riak dan berbuih tebal. Setelah itu muncullah beberapa ekor buaya ke
permukaan sungai. Sisik buaya-buaya tersebut berwarna kuning. Melihat
buaya-buaya tersebut, Raja Kodung sama sekali tidak terkejut karena apa yang ia
lihat sekarang sama persis dengan apa yang dipesankan istrinya. Buaya-buaya
kuning tersebut adalah istri dan anak-anaknya.
Buaya yang paling besar berukuran lebih
dari 8 meter. Dikepalanya terdapat mahkota bertabur permata yang sama persis
seperti yang dimiliki putri Banyu Mustari. Buaya-buaya yang lainnya berukuran
lebih kecil sekitar 5 meter dan tidak memakai mahkota. Sorot mata buaya-buaya
tersebut seolah-olah menyiratkan kerinduan yang sangat besar kepada Raja
Kodung.
Raja Kodung berlutut dengan salah satu
kaki menjadi tumpuannya. Buaya-buaya tersebut berenang mendekati Raja Kodung
sehingga menimbukan riak di air dan membuat keruh air sungai. Mereka terus
berenang dengan perlahan hingga hampir tidak ada jarak diantara mereka. Kaki
depan mereka menapak daratan. Terlihat kuku-kuku mereka yang tajam dan runcing.
Sementara itu, setengah badan mereka masih berada di bawah air. Tanpa rasa
takut, Raja Kodung membelai buaya-buaya itu satu persatu dengan penuh kasih
sayang.
“Terimakasih
karena kalian telah bersedia datang. Kalian harus tahu, seperti apapun wujud
kalian, aku akan selalu mencintai dan mengasihi kalian.” Kedua tangan Raja Kodung
masih mengelus lembut kepala salah satu buaya yang memakai mahkota yangmana
merupakan penjelmaan istrinya, Putri Banyu Mustari. Di tangannya, kulit buaya
itu terasa keras dan kasar. Namun, hal ini tidak sedikitpun mengurangi
perasaannya kepada Banyu Mustari.
Walaupun tidak ada yang bisa diucapkan
oleh para buaya kuning tersebut, mata mereka menunjukkan pemahaman yang dalam.
Butiran-butiran air mata menggenang dan menetes dari mata mereka sebelum
akhirnya mereka masuk kembali ke dalam air sungai. Pertemuan tersebut meskipun
singkat tetapi cukup untuk mengobati kerinduan Raja Kodung terhadap istri dan
keturunannya.
Semenjak itu, Raja Kodung memerintahkan
kepada seluruh rakyatnya agar tidak pernah mengganggu semua buaya kuning yang
ada atau muncul di permukaan sungai Mempawah. Selain itu ia pun rutin melakukan
acara pemanggilan buaya-buaya kuning yang merupakan istri dan keturunan-keturunannya.
Hal ini dilakukannya semata-mata karena rasa sayangnya kepada istri dan keturunan-keturunannya.
Kabiasaannya ini dikenal oleh rakyat Mempawah sebagai ritual “buang-buang.”
Raja Kodung berharap agar keluarganya
yang berada di darat selalu mengkomunikasikan semua peristiwa yang terjadi di
daratan kepada saudara-saudara yang berada di dalam alam gaib melalui
pelaksanaan adat buang-buang. Bahkan hingga saat ini sebagian besar mayarakat
Mempawah masih melaksanakan ritual ini sebagai pengingat bahwa manusia tidak
hidup sendiri di dunia ini melainkan masih terdapat alam lain yang tidak dapat
dilihat oleh manusia biasa. Selain itu hal ini juga dilakukan sebagai bentuk
pengormatan kepada alam dan lingkungan yang merupakan sumber kehidupan manusia.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar