Pendahuluan
Masyarakat
Kalimantan barat bersifat majemuk. Dilihat dari aspek etnisitas, Kalimantan
Barat merupakan tempat bermukim bagi kelompok masyarakat Melayu, Dayak, dan Tionghoa.
Masing-masing dari komunitas masyarakat tersebut memiliki budaya dan tradisi
yang mencerminkan keunikannya tersendiri. Kemajemukan budaya dari tiga etnis
terbesar di Kalbar tersebut sesungguhnya menyimpan potensi yang luar biasa
besar apabila dikelola dengan baik. Keanekaragaman budaya ini dapat menciptakan
keanekaragaman pengalaman, nilai, dan memperkaya cara pandang akan kehidupan
masyarakat lainnya.
Setiap
budaya memiliki keunikannya tersendiri sehingga menjadi ciri masyarakat
pelakunya. Budaya yang merupakan identitas diri masyarakat ini harus terus
dipelihara dan dikembangkan karena tanpa adanya identitas, eksistensi suatu
masyarakat akan sulit diakui. Dalam pelaksanaannya, pengembangan tersebut
hendaknya dapat memberikan dampak yang positif
berupa kedamaian dan kesejahterahan bagi masyarakat Kalimantan barat.
Dewasa
ini kebudayaan lokal di Kalimantan Barat dihadapkan pada dua permasalahan utama
terkait keanekaragaman budaya dan eksistensinya di bumi Borneo ini. Permasalahan
pertama ialah, kemajemukan masarakat Kalimantan barat yang multikultural ini
rawan akan terjadinya konflik antar budaya. Selain ditempati oleh tiga etnis
besar (Melayu, Dayak, dan Tionghoa), daerah yang terletak di koordinat
3º 20′ LS – 2º 30′ LU 107º 40′ – 114º 30′ BT
ini juga dihuni oleh masyarakat dari suku bangsa lainnya seperti Bugis, Jawa,
Madura, Sunda, Batak dan lainnya. Perbedaan masyarakat yang membawa perbedaan
kebudayaan menimbulkan perbedaan cara interaksi sosial, cara pandang kehidupan,
dan cara pemahaman atas budaya lain yang berbeda dari miliknya.
Permasalahan
yang kedua ialah, kebudayaan lokal yang beraneka ragam mulai tergusur seiring
dengan derasnya arus globalisasi. Hal ini apabila terus-menerus dibiarkan akan
mengganggu eksistensi dan bahkan menghilangkan identitas masyarakat lokal.
Padahal, semestinya kebudayaan menjadi salah satu pegangan ketika berinteraksi dengan
kebudayaan luar. Kamampuan untuk memadukan kebudayaan lokal dengan arus perubahan
akan membantu masyarakat untuk terus mengikuti perkembangan teknologi dan
kebudayaan dari luar tanpa mengabaikan kebudayaan lokal.
Kebudayaan Lokal sebagai Wujud
Identitas Masyarakat
Kebudayaan
sebagaimana yang diungkapkan oleh E. B. Taylor (1871) ialah kompleks
keseluruhan yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat
istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan di Kalimantan Barat sangat
beranekaragam karena masyarakat yang menempatinya pun beraneka macam terdiri
dari masyarakat Melayu, Dayak, Tionghoa, Jawa, Sunda, Madura, Bugis dan lainnya.
Keanekaragaman ini dapat menjadi kebanggaan sekaligus tantangan untuk terus
dipertahankan sampai ke generasi selanjutnya.
Kebudayaan
yang diciptakan oleh suatu masyarakat menjadi suatu tanda pengenal bagi
masyarakat tersebut. Kebudayaan yang diciptakan oleh suatu kelompok masyarakat
tidak diciptakan begitu saja, namun membutuhkan waktu yang sangat lama untuk
diketahui, ditaati, dan diimplementasikan ke dalam kehidupan masyarakat
tersebut. Kesamaan budaya inilah yang kemudian menjadi suatu karakter unik dan
menjadi identitas budaya suatu kelompok masyarakat yang membedakan dengan
masyarakat lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh Alo Liliweri (2003) identitas
budaya ialah rincian karakteristik atau ciri-ciri khas sebuah kebudayaan yang
dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya tatkala
dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain.
Budaya
Lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh suatu wilayah dan mencerminkan
keadaan sosial di wilayahnya. Hal-hal yang termasuk budaya lokal diantaranya
ritual kedaerahan, adat istiadat daerah, cerita rakyat, dan segala sesuatu yang
bersifat kedaerahan. Dengan mempelajari dan membandingkan kebudayaan setiap
etnis dalam masyarakat, maka akan timbul pemahaman terhadap segala persamaan maupun
perbedaan yang ada untuk pada akhirnya mencapai komunikasi yang efektif untuk
terciptanya integrasi sosial.
Kemajemukan kebudayaan Lokal yang
Hidup Dalam Masyarakat Melayu, Dayak, dan Tionghoa.
Masyarakat
Kalimantan barat merupakan masyarakat yang majemuk karena terdiri dari berbagai
latar belakang budaya. Menurut Kluckhohn dan Strodtbec (1961) dalam Arkanudin
(2012) faktor perbedaan budaya yang tercermin dalam perbedaan sistem nilai
budaya dan sistem orientasi budaya suatu masyarakat potensial menimbulkan
konflik sosial. Namun, dalam kehidupan masyarakat Kalimantan barat,
ada beberapa kebudayaan dari etnis Melayu, Dayak, dan Tionghoa yang meskipun
berbeda tetapi tetap mengedepankan kebersamaan. Berikut ini akan dibahas
mengenai beberapa dari sekian banyak kebudayaan yang lebih mengedepankan
kebersamaan dibandingkan kesukuan.
A.
Kebudayaan Masyarakat Melayu.
Masyarakat
Melayu adalah masyarakat etnik mayoritas yang tersebar di kawasan pesisir dan
telah lama mendiami daerah Kalimantan Barat. Kebudayaan Melayu di Kalimantan
Barat sangat kental oleh unsur kebudayaan Islam. ‘Melayu itu beradat’ merupakan
salah satu dari lima falsafah yang dimiliki oleh masyarakat melayu. Salah satu
adat budaya yang masih dipegang dan dilaksanakan oleh masyarakat Melayu ini adalah
saprahan. Saprahan merupakan jamuan makan berkelompok. Tradisi saprahan ini
dilakukan pada acara-acara tertentu, seperti acara pernikahan, sunatan,
selamatan, dan acara lainnya. Dalam jamuan semacam ini biasanya tamu undangan
duduk bersila di lantai secara berkelompok. Jamuan antara undangan pria dan
undangan wanita dilakukan dalam waktu yang berbeda namun masih dalam tempat
yang sama. Yang unik dari makan bersaprah ini ialah para tamu undangan harus
makan menggunakan tangan yang mana dilakukan setelah semua tamu mendapat
hidangan. Selain itu, terdapat ketentuan bahwa dalam satu kelompok harus
terdapat enam orang tamu undangan dan lima jenis makanan.
Dilihat dari tata cara
pelaksanaannya, budaya saprahan kental dengan nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan,
dan kesederhanaan. Berbagai macam orang dengan latar belakang yang bervariasi
mulai dari yang tua, muda, kaya, miskin, mereka duduk bersama beralas lantai
dengan makanan yang sama pula dan apa adanya. Rasa kebersamaan dan kekeluargaan
ini nantinya akan memunculkan rasa persaudaraan dan solidaritas karena antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya menjadi saling mengenal.
Selain budaya saprahan, masyarakat
etnik Melayu juga memiliki acara ritual antar ajung. Antar Ajung merupakan
acara ritual adat untuk menanam padi. Ritual ini dipercayai oleh masyarakat
lokal (khususnya masyarakat pesisir Sambas) dapat meghindarkan tanaman padi mereka dari
serangan hama dan penyakit. Dalam upacara adat budaya ini, perahu ajung yang
berisikan perbekalan berupa kue adat, ketupat pulut, cucur, nasi pulut, dan
yang lainnya dilepaskan ke laut. Di tengah-tengah pelaksanaannya, terdapat
acara menjemput beras kuning dan retih yang kemudian ditaburkan ke ajung.
Setelah itu warga masyarakat akan berdatangan kerumah salah satu warga dengan
membawa ketupat dimana sang tuan rumah akan meyediakan kopi, teh, dan makanan
kecil untuk disantap bersama-sama. Hal ini benar-benar menunjukkan rasa
kebersamaan dan kekompakan yang tinggi antar masyarakat etnik melayu dan masyarakat
etnik lainnya.
Budaya lokal masyarakat tidak hanya
dapat diekspresikan melalui bentuk tradisi upacara seperti saprahan dan antar
ajung yang telah dibahas sebelumnya. Budaya lokal juga dapat dinyatakan melalui
tradisi lisan berupa ungkapan tradisional. Ungkapan tradisional menjabarkan
nilai-nilai masyarakat yang dijadikan sebagai panduan dalam memandang dan
menyikapi hidup. Salah satu contoh ungkapan tradisional masyarakat Melayu
Kalbar yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari yaitu ‘dimana bumi
dipijak, disitu langit dijunjung.’ Ungkapan ini mengandung makna untuk
menghormati tata krama, adat istiadat, nilai-nilai anutan dan budaya setempat.
Ungkapan ini sejatinya tidak hanya digunakan oleh masyarakat dan di tanah
Melayu saja melainkan juga dapat digunakan dan diterapkan oleh masyarakat dari
etnis lainnya seperti Dayak, Tionghoa, Bugis dan lainnya. Baik tradisi adat
budaya maupun tradisi lisan Masyarakat Melayu ini sama-sama menunjukkan bahwa
nilai-nilai kebersamaan masih terasa kuat dan diantara kalangan masyarakat
Melayu namun juga tidak menutup diri terhadap masyarakat etnik lainnya.
Dapat
dikatakan pula bahwa tradisi upacara maupun tradisi lisan berupa ungkapan
tradisional merupakan unsur budaya yang memiliki banyak nilai berupa nasihat,
pesan, maupun petunjuk yang dapat berguna bagi kehidupan manusia. Jadi,
semestinyalah dilakukan upaya-upaya untuk melestarikannya sehingga kebudayaan
tersebut tidak hilang begitu saja.
B.
Kebudayaan Masyarakat Dayak
Masyarakat Dayak memiliki tradisi
budaya naik dango. Upacara naik dango merupakan upacara syukuran padi yang
dilaksanakan setahun sekali. Dalam kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn, upacara
ini merupakan salah satu konsekuensi logis penghormatan tertinggi dari padi.
Ritual tutup tahun ini ditujukan untuk menunjukkan rasa syukur dan terimakasih
atas segala kebaikan dan berkat yang diberikan kepada mereka sepanjang tahun
dalam bentuk padi.
Bentuk kebudayaan naik dango
mencerminkan suatu nilai religius dimana Sang Pencipta ditempatkan sebagai
pusat penciptaan yang memiliki makna apa yang diperoleh atas karunia Sang
Pencipta diserahkan kembali kepada-Nya untuk disimpan. Selain itu, kebudayaan
semacam ini mampu menciptakan rasa kekeluargaan dan solidaritas karena penyelenggaraannya
yang dilakukan serentak dalam wilayah kesatuan adat tertentu memungkinkan
adanya kunjungan antar keluarga terdekat.
Selain upacara naik dango,
masyarakat Dayak juga memiliki ritual budaya upacara adat buah yang merupakan
upacara untuk menyambut musim buah. Upacara ini merupakan upacara khas dari
masyarakat Dayak Pesaguan yang tinggal di hutan-hutan Ketapang, Kalimantan
Barat. Tradisi budaya ini ditujukan untuk menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan
dan sebagai penghormatan kepada alam atas panen yang berlimpah. Upacara adat
buah terdiri dari empat tahap, yaitu: (1) Memorum
Dowun Memangkah Doha, yakni ritual saat kuntum mulai tumbuh, (2) Merimbang Bunga atau memelihara bunga,
yakni pada saat bunga sudah mulai kembang, (3) Menimang atau Mamandian Pansai
(memandikan buah), yakni saat kembang berubah menjadi buah, (4) Menyambit buah,
yakni mengambil buah saat masak (Tim Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional, 2008).
Terdapat banyak sekali nilai luhur
yang dapat diambil dari budaya tersebut. Salah satunya ialah nilai
kesederhanaan, kebersamaan dan penghargaan terhadap alam. Sebagai makhluk yang
telah menerima begitu banyak dari alam, memang sudah sepatutnya manusia
mensyukurinya dengan cara menghormati dan merawat alam bersma-sama.
Selain upacara tradisinya yang
unik, masyarakat Dayak juga mengenal sungkaatn. Sungkaatn merupakan salah satu
dari bentuk tradisi lisan yang dituturkan secara langsung secara turun temurun.
Tradisi lisan mengandung banyak nilai positif
yang dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat terkait dengan
kandungan, pesan moral, kepercayaan, dan norma masyarakat di dalamnya. Bagi
etnis Dayak, tradisi lisan merupakan penghubung generasi masa lampau, masa
sekarang, dan masa yang akan datang.
Sungkaatn ialah cerita dalam bentuk
perumpamaan/pepatah yangmana biasanya dikaitkan dengan lingkungan sekitar mengenai
peringatan, penjelasan, atau nasihat. Salah satu contoh sungkaatn yang biasa
ditemui, yaitu ‘Tamu diberi makan, Melayu diberi beras.’ Maksudnya ialah
masyarakat Dayak sangat menghargai perbedaan sehingga jika yang bertamu adalah
sesama Dayak maka akan diberi makanan yang sama dengannya, jika Melayu (identik
dengan Islam) akan diberi beras supaya masak sendiri dan nanti dimakan bersama.
Hal ini menunjukkan bahawa masyarakat Dayak menghormati perbedaan yang ada dari
etnik lainnya.
C. Kebudayaan Masyarakat Tionghoa
Salah satu
tradisi kebudayaan masyarakat Tionghoa ialah tahun baru imlek. Tahun baru imlek
merupakan tradisi untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa dan
juga sebagai doa harapan agar tahun depan mendapat rezeki lebih banyak. Tahun
baru ini dimulai di hari pertama bulan purnama (penanggalan Tionghoa) dan
berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal ke limabelas (pada saat bulan purnama).
Jadi, imlek selalu dirayakan selama 15 hari berturut-turut. Pada perayaan imlek
ini, setiap anggota keluarga akan bersilahturahmi dan saling berbagi sehingga
perayaan ini sangatlah tepat untuk dijadikan momen penting dalam menjalin kasih
terhadap setiap anggota keluarga.
Dalam acara Cap Go meh juga
terdapat tatung. Tatung merupakan media utama Cap Go Meh yang menjadi simbol
dalam pengusiran roh-roh jahat dan
peniadaan kesialan. Atraksi tatung menampilkan upacara pemanggilan roh-roh yang
kemudian merasuki orang-orang terpilih. Roh-roh tersebut diyakini sebagai
roh-roh baik yang yang mampu menangkal roh-roh jahat yang hendak mengganggu
keharmonisan hidup masyarakat.
Yang cukup menarik ialah bahwa
ternyata tatung merupakan peleburan budaya pribumi dan budaya China. Karena
itulah, banyak orang Dayak yang juga turut serta menjadi tatung. Hal ini
menunjukkan bahwa telah terjadi asimilasi budaya Tionghoa dengan penduduk
lokal.
Festival cap go meh di Singkawang |
Masyarakat Tionghoa menjunjung
penghormatan terhadap perbedaan. Hal ini tercermin dari pepatah Cina yang
banyak digunakan yaitu ‘Jip kang sui suan, jip koi sui nyak.’ Jika masuk sungai
harus sesuai belokannya, masuk kampung harus sesuai adat setempat. Jadi,
maksudnya ialah bahwa kita harus saling menghormati, menghargai, dan menjunjung
perbedaan dalam masyarakat.
Komunikasi Antar Budaya sebagai
upaya mencegah konflik antar budaya masyarakat dan Tergerusnya Kebudayaan Lokal
Akibat Globalisasi.
Keragaman
struktur budaya yang berakar pada perbedaan standar nilai kebudayaan ini
memungkinkan untuk terjadinya konflik antar budaya. Karnanya, diperlukan
toleransi untuk menerima kenyataan bahwa antara masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lainnya memiliki perbedaan yang melekat pada etnisitas sosial
dan budayanya. Dengan demikian maka mereka dapat hidup berdampingan satu sama
lain. Apabila kemajemukan budaya dan kemajemukan masyarakat yang ada di Kalbar
ini tidak disertai dengan rasa toleransi dan saling menghargai antar sesama
masyarakat, keharmonisan hidup antar masyarakat akan terancam.
Selain
dengan cara menumbuhkan rasa toleransi antar masyarakat, konflik antar etnis
yag didasari perbedaan budaya juga dapat diminimalisir atau bahkan dicegah
dengan terciptanya komunikasi antar budaya. Menurut Steward L. Tubbs,
komunikasi antar budaya ialah komunikasi yang terjadi diantara orang-orang yang
memiliki kebudayaan yang berbeda dalam hal ras, etnik, atau sosial ekonomi (Intercultural
communication as communication between members of different cultures whether
defined in terms of racial, ethic, or socioeconomic differences). Sedangkan
menurut Fred E. Jandt komunikasi antarbudaya ialah interaksi tatap muka
diantara orang-orang yang berbeda budayanya (intercultural communication
generally refers to face-to face interaction among people of divers culture).
Sehingga, dapat dikatakan bahwa komunikasi antar budaya ini ialah proses
pertukaran pikiran dan pertukaran makna yang terjadi diantara orang-orang yang
berbeda budayanya.
Komunikasi
antar budaya ini terjadi ketika pesan yang harus ditangkap dan dipahami,
diproduksi oleh masyarakat dari suatu budaya tertentu diproses dan dikonsumsi
oleh masyarakat dari budaya yang lain. Komunikasi semacam ini dapat dilakukan
dengan berbagai cara diantaranya ialah negosiasi, pertukaran simbol, bimbingan
perilaku budaya yang kesemuanya bertujuan untuk menunjukkan fungsi sebuah
kelompok. Dengan adanya komunikasi yang intens, akar sebuah konflik dapat
dipahami sehingga kesalahpahaman yang berpotensi menimbulkan konflik sosial
dapat dikurangi.
Komunikasi
antar budaya perlu dilakukan untuk membantu memahami perbedaan budaya yang ada
dan untuk membantu mengatasi masalah komunikasi akibat perbedaan budaya
tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Alo liliweri (2003) tentang beberapa
alasan perlunya komunikasi antar budaya, antara lain (a) membuka diri
memperluas pergaulan, (b) meningkatkan kesadaran diri, (c) etika/etis, (d)
mendorong perdamaian dan meredam konflik, (e) demografis, (f) ekonomi, (g)
menghadapi teknologi komunikasi, (h) menghadapi era globalisasi. Jadi, untuk
dapat mencapai perdamaian dan meredam konflik ditengah-tengah keragaman,
orang-orang yang berbeda kebudayaannya semestinya memahami situasi dan kondisi
budaya lain melalui komunikasi antar budaya agar mampu mengkomunikasikan
perbedaan-perbedaan yang ada. Semakin baik kita mengenal dan memahami budaya
lain maka akan semakin besar rasa toleransi kita untuk hidup berdampingan
secara harmonis dengan budaya lainnya.
Komunikasi
antar budaya dapat juga dijadikan sebagai solusi agar kebudayaan-kebudayaan
lokal tidak terus tergerus oleh budaya luar. Pesatnya arus globalisasi
menyebabkan kebudayaan-kebudayaan lokal yang ada di Kalimantan Barat mulai
hilang sedikit demi sedikit. Kebudayaan lokal yang tergusur modernisasi dan
globalisasi tidak hanya menyebabkan masyarakat etnik kehilangan identitasnya
tetapi juga terganggu eksistensinya. Kebudayaan etnik sudah mulai kurang
dipraktikkan lagi sepenuhnya dalam khidupan bermasyarakat. Seiring perkembangan
zaman, masyarakat lebih banyak memilih kebudayaan baru yang lebih praktis
dibandingkan kebudayaan lokal.
Komunikasi
antar budaya ini sangat berpengaruh terhadap ketahanan budaya bangsa. Dengan
adanya komunikasi antar budaya yang efektif, perselisihan antar etnik yang
berdampak pada turunnya ketahan budaya lokal dapat diminimalisir.
Keefektifan
komunikasi antar budaya ini menghasilkan perpaduan dan keharmonisan antar etnik
yang mana terlihat dari kesediaan masyarakat untk menyesuaikan diri dengan
enik-etnik lain yang ada di lingkungannya. Salah satu penyesuaian diri yang
dilakukan sebagai hasil komunikasi antar budaya ialah pengadopsian nilai-nilai
budaya dari etnis setempat. Hal ini terlihat jelas dari berbagai macam tradisi
yang sebelumnya telah dibahas yaitu budaya saprahan, cap go meh, naik dango,
dan lainnya yang walaupun berasal dari etnik dan kebudayaan yang berbeda tetapi
dapat menjadi simbol interaksi dan pembauran. Dari kegiatan budaya tersebut,
masyarakat dari berbagai etnis, mereka bersatu dan berinteraksi satu sama lain
dan menjaga kerukunan bersama. Dengan saling mengenal dan saling memahami
keanekaragaman antar etnis dapat semakin memperkokoh daya rekat sosial bagi
kehidupan masyarakat yang aman dan damai dalam persatuan.
Penutup
Kalimantan
Barat merupakan daerah yang kaya akan keanekaragaman budaya karena terdiri dari
berbagai etnik masyarakat dimana masing-masing etnik masyarakat tersebut
memiliki perbedaan dan keunikan budaya. Kebudayaan lokal yang sangat beraneka
ragam menjadi kebanggan tersendiri bagi daerah Kalimantan Barat sekaligus
menjadi tantangan akan kemampuan untuk dapat mempertahankannya agar tidak
hilang begitu saja.
Jika
dilihat dari kebudayaan masyarakat etnis Melayu, Dayak, dan Tionghoa yang
merupakan tiga etnis terbesar di Kalimantan barat, terdapat banyak sekali adat budaya
yang dapat mempersatukan manusia dari berbagai latar belakang etnis. Karena
itulah, perlu adanya komunikasi antar budaya agar berbagai macam etnis yang ada
dapat membaur berinteraksi satu sama lain dan kemungkinan untuk terjadinya
konflik semakin minim. Hal seperti ini apabila dijaga akan menjadikan
masyarakat Kalimantan barat sebagai masyarakat yang memiliki identitas diri
yang kuat namun tetap mampu untuk terus hidup harmonis dalam perbedaan.
Sejalan dengan arus perkembangan modern,
budaya luar dapat menghilangkan budaya lokal masyarakat apabila tidak dijaga
kelestariannya. Dalam hal ini, komunikasi antar budaya juga diperlukan untuk
menjaga ketahanan budaya. Kemampuan komunikasi antar budaya sangat penting agar
tidak terjadi kesalahpahaman yang dianut. Dengan meningkatkan intensitas
komunikasi antar budaya ini, maka perselisihan antar etnik yang memicu turunnya
ketahanan budaya dapat ditekan kadarnya.
Kepustakaan
Arkanudin. 2012. Menelusuri Konflik Antaretnik
khususnya Dayak dengan Madura di Kalimantan Barat. http://prof-arkan.blogspot.com/2012/04/menelusuri-akar-konflik-antar-etnik.html
Jand, Fred. E. 2003. Intercultural communication. Sage
Publication, inc.
Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antar
Budaya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Steward L. Tubbs and Sylvia Moss. 1996. Human Communication: Konteks-Konteks
Komunikasi. Bandung. Remaja Rosdakarya. Hal 235-238
Tim Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional.
2008. Upacara Adat Masyarakat Dayak Pesaguan Kecamatan Tumbang Titi Kabupaten
Ketapang. Pontianak: Departemen Pendidikan dan Pariwisata, Balai Pelestarian
Sejarah dan Nilai Tradisional.
Tylor, Edward.
1871. dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar